Breaking News

Kondisi Pembela HAM di Indonesia Rentan Dengan Ancaman,Komnas HAM Upayakan Ini

JAKARTA, (BS) – Belum adanya pengakuan dari negara dan masih adanya rentetan ancaman, kriminalisasi bahkan serangan secara fisik dan digital membuat kondisi pembela HAM di Indonesia menjadi sangat rentan. Padahal Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) berkontribusi besar dalam mendorong pemenuhan, pemajuan, dan penegakan HAM di berbagai sektor.

Hal ini diungkapkan Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono saat menjadi narasumber Konferensi SDGs 2022 dan Sidang Umum INFID yang dilakukan secara hybrid di Hotel Arosa Jakarta dan melalui zoom webinar, Selasa (19/07/2022).

Berdasarkan data Komnas HAM, kerentanan yang melanda para pembela HAM dalam kurun waktu 2020 – 2021 sejumlah 44 ancaman dan serangan secara fisik maupun di ranah digital.

Pada kesempatan ini Mimin – panggilan akrab Mimin Dwi Hartono – mengenalkan sebuah produk hukum milik Komnas HAM yaitu Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Pembela HAM. Menurutnya hingga saat ini belum ada instrumen khusus yang secara eksplisit menyatakan pelindungan terhadap pembela HAM, sehingga diharapkan SNP tentang Pembela HAM dapat menjadi sebuah rujukan bersama yang bersifat operasional.

“Penyusunan dan penetapan Standar Norma dan Pengaturan tentang Pembela HAM merupakan upaya Komnas HAM dalam mendorong perlindungan pembela HAM di Indonesia,” ucap Mimin.

Upaya perlindungan terhadap pembela HAM tentu saja tidak bisa Komnas HAM lakukan sendiri, butuh peran serta berbagai pihak dalam rangka membangun ketahanan pembela HAM di Indonesia. Dalam rangka hal tersebut, Komnas HAM telah melakukan jejaring dengan berbagai pihak misal CSO, universitas, Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia, Safenet, dan jaringan HAM lainnya. Komnas HAM juga terus berupaya meningkatan kapasitas dan kapabilitas para pembela HAM dan membangun mekanisme bersama dengan Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (NHRI) lainnya guna mendorong perlindungan pembela HAM dan untuk menangani berbagai kondisi pembela HAM di Indonesia.

Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun mengungkapkan kerentanan yang dialami pembela HAM di sektor agraria. Menurutnya masih banyak pengabaian yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah.

Hal ini terukur dari jumlah kasus agraria yang terjadi di Indonesia dan pendekatan berbasis kekerasan yang masih sering ditemui dengan cara menangkap para pembela HAM, aktivis, petani yang dianggap kontra dengan pemerintah. KPA mencatat, selama dua tahun pandemi Covid-19 ada 448 konflik agraria pada 902 desa/kota.

Exit mobile version